Pamit (#HQAngstWeek Day 1)



Alisa merayakan ulang tahunnya sederhana kiranya; di rumah dengan beberapa teman adik kesayangannya, Lev, di klub voli. Juga ada Akane yang telah menjadi sahabatnya.

Kuroo berkaca di cermin toilet kediaman keluarga Haiba. Ia menarik napas panjang sembari memejamkan mata, setelahnya menghempaskan lewat mulutnya dengan kasar.

Rencana ia akan menyatakan perasaannya dengan Alisa.

Kepalanya berisik lontaran kalimat apa yang akan diucapkan. Tak pernah ia segelisah ini. Mungkin menyatakan perasaan itu mudah hanya dengan kalimat 'aku menyukaimu', namun bagi pemuda itu memikirkan banyak risiko.

Pertama, Alisa adalah adik dari juniornya, Lev. Salah-salah bisa dihajar.

Kedua, Alisa lebih tua dua tahun darinya. Isi kepala, tingkah laku, serta hal-hal remeh akan berbeda.

Ketiga, siap-siap ditanya keluarganya perihal masa depannya nanti dengan Alisa.

Oke, bagian yang ketiga ini terlalu jauh.

Kuroo dirasa sudah memantapkan diri, keluarlah ia. Astaga, padahal hanya menyatakan perasaan, tapi seperti akan mengucapkan ikrar janji sehidup semati di altar.

Membuka pintu ia, terkejut mendapati Kenma sudah di hadapannya.

"Kamu sudah sejak tadi di sini? Kenapa tidak ketuk pintu kalau ingin—" omongan Kuroo terpotong.

"Kamu gugup sekali." ucap Kenma dengan datarnya.

"Ah— ti-tidak!" Kuroo gelagapan. Memang sepertinya ia tak pandai menyembunyikan dari sahabat kecilnya itu, "oke, Kenma, kamu benar. Aku gugup untuk mendeklarasikan perasaanku pada Alisa."

"Terserahmu untuk tetap melakukannya atau tidak, Kuroo. Yang penting tidak ada penyesalan darimu." Kenma berbalik pergi ke ruang tengah meninggalkan Kuroo yang hampir goyah.

Katakan atau tidak? pikirnya.

Katakan saja! meyakinkan diri lagi ia.

Di ruang tengah sudah dipenuhi oleh kawan-kawan Kuroo. Beberapa menoleh padanya karena ia berhenti di sana.

"Lama sekali? Ayo duduk!" titah Yaku.

Kuroo duduk di tempat yang masih kosong. Kebetulan beberapa sentimeter dari Alisa yang tersisa. Ia sedikit hati-hati karena melewati beberapa temannya yang duduk berlesehan.

Di atas meja sudah ada kue serta kudapan yang disiapkan oleh sang tuan rumah, juga bantuan dari Akane dan beberapa rekan tim voli.

Kuroo malah makin gugup di dekat gadis keturunan Rusia ini. Alisa sangat cantik seperti biasanya. Ia berbalut mini blouse tunic warna marun, surainya yang dicepol menambah anggunnya Alisa.

Juga menambah Kuroo makin jatuh hati.

"Alisa, aku mau bilang sesuatu." ucapnya pada Alisa yang selanjutnya menoleh menatap mata Kuroo lekat-lekat.

Pemuda itu menahan diri untuk tidak terlihat gugup. Baru saja Kuroo ingin melanjutkan, wajah Alisa menunjukkan bahwa ia teringat sesuatu.

"Oh, iya." Alisa menatap satu persatu yang datang, "aku mau umumkan sesuatu." wajahnya sumringah. Sedang teman-temannya dibuat penasaran.

Kuroo merasa tak ada yang beres.

Alisa memperlihatkan tangan kanannya yang sudah tersemat cincin di jari manisnya, "Tada! Aku sudah bertunangan."

"Woah!" semua berseru senang.

Kecuali Kuroo. Ia masih mencerna lontaran Alisa. Mengernyit ia sembari bergumam.

Tunangan? gumamnya.

"Sama siapa, kak?" tanya Akane dengan antusias.

"Teman lamaku di Rusia. Sebenarnya mau kukenalkan juga hari ini, tapi ia siang tadi sudah harus kembali ke sana karena pekerjaannya." jelas Alisa.

"Wah! Aku jadi ingin menikah, deh." Akane berangan.

"Eh, nanti dulu!" sergah Taketora.

"Bukan sekarang juga, kak!"

Semuanya tergelak. Lagi-lagi kecuali Kuroo, ia mendadak lesu. Berusaha ia tersenyum mengikuti alur suasana ini.

Setelah pengumuman itu, mulailah acara inti. Menyanyikan lagu sebelum Alisa meniup api dari lilin yang tertancap di kue.

Setelah lilin itu coba kau padam, kuharap perasaanku juga ikut larut tenggelam. Tak pernah menyala lagi, tak pernah ada lagi.

Kuroo menikmati desir angin malam di balkon, sedang teman-temannya masih di ruang tengah menghabiskan kudapan juga berbincang.

Seharusnya tak boleh begini, namun hati susah berdusta. Patah ternyata separah ini.

Kemudian Alisa berdiri berjarak di sebelah pemuda itu. Kedua tangan mereka memangku di atas tralis besi.

"Kamu tidak suka keramaian, ya?" tanya Alisa.

Pemuda itu makin tak karuan. Ingin menghindar malah datang si pujaan.

Ia menggeleng, "Hanya... ya... ingin mencari angin segar."

Alisa mengangguk. Kini keduanya larut dalam sepi.

"Oh, selamat atas pertunanganmu." Kuroo memecah keheningan. Ia masih asyik menatap ke depan yang hanya menampakkan remang-remang dari genting rumah yang berjejer.

Alisa menoleh dan tersenyum, "Terima kasih."

"Terserahmu untuk tetap melakukannya atau tidak, Kuroo. Yang penting tidak ada penyesalan darimu."

Ia teringat yang dikatakan Kenma. Mungkin benar Kuroo harus mengatakannya. Lagipula ia juga sudah memantapkan diri.

Ia menghadap Alisa sekarang. Menatapnya lekat, pun Alisa yang sedikit menengadahkan wajahnya.

"Alisa, aku harus mengatakan ini. Aku menyukaimu— tidak, aku mencintaimu."

Gadis itu terbelalak tak percaya.

"Nyatanya aku sudah didahului temanmu, ya? Aku kalah. Tidak apa-apa, aku senang akhirnya kamu melabuhkan padanya. Bahagia dengannya, ya."

Alisa masih tak berkutik, isi kepalanya berisik, tapi tak ada yang bisa ia katakan.

"Kuroo, aku—"

"Aku pamit." Kuroo memotong kalimat Alisa.

"Um.. biar kuantar—"

"Tidak. Aku bukan pamit untuk pulang sekarang. Aku pamit untuk membawa dan melupakan perasaanku padamu."

Pemuda itu seperti memberi sihir pada Alisa. Gadis itu masih tertahan tak bisa mengatakan apapun. Kalimat di kepalanya penuh, tapi rasanya sulit untuk memuntahkan semuanya.

Kuroo merogoh saku jaketnya. Ia memberikan kotak berukuran kecil pada Alisa.

"Selamat ulang tahun." katanya.

Cintaku yang tak terbalas sebelum sempat aku membahas, gumamnya.


Komentar