Glasnot's Fried Rice With Love : Part 4
Cerita Sebelumnya <-- KLIK
“Sha. Sampe kapan lo
cuek ke gue?” tanya Glasnot ke Aisha yang berjalan agak cepat. Glasnot mengikuti
Aisha dengan motornya. “Sampe kita lulus SMA!” Aisha agak membentak Glasnot.
“Lo yakin Sha?” Glasnot memberhentikan motornya. Aisha masih tetap berjalan dan
nggak merespon yang dibilang Glasnot. “Sha... Sha!” Glasnot teriak memanggil
Aisha.
“BERISIK!” teriak
Aisha. Napasnya terengah. Dia menoleh ke Glasnot yang ada di belakangnya. Agak
jauh jaraknya. “Gue udah bilang lupain, ya LUPAIN! Gue udah maafin lo! Tapi,
gue lagi nggak mau ngomong sama lo.”
“Kenapa?”
“Gue nggak bisa
jelasin. Nanti lo juga akan tau. Udah! Gue mau balik.” Kata Aisha. Dia memutar
badannya dan berjalan agak cepat. Glasnot masih tetap di sana. Dia heran,
kenapa Aisha kayaknya benci banget sama Glasnot. Seakan dia itu adalah musuhnya
Aisha. Terakhir mereka ngobrol akrab itu sekitar seminggu yang lalu. Selebihnya
saling diam, dan Aisha langsung menunjukkan kemarahannya pada Glasnot. Waktu seragamnya
ketumpahan nasi goreng, Aisha sudah menunjukkan kemarahannya. Apa yang terjadi
sama Aisha kini, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Glasnot, dan beberapa teman
lain seperti Khoiri, Ria dan Tyas cuma bisa berusaha mebuat Aisha untuk
mengatakan apa yang terjadi dengannya.
***
Di kantin sekolah,
suasananya ramai. Biasanya yang belum mau pulang cepat atau karena menunggu
jemputan, atau mungkin menunggu seseorang, biasanya mereka ke kantin ini hanya
sekedar untuk duduk, melihat cowok-cowok lagi latihan futsal, atau mengobrol
dengan temannya. Bahkan ada yang mengerjakan tugas sambil ngemil. Di meja yang
ada di sudut sana, ada Lili dan Tyas. Mereka duduk berhadapan. Saling diam.
Sambil mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan sambil menopang dagu. Mereka
begitu terus. “Yas...” kata Lili akhirnya. Tyas hanya menggumam. “Gue bosen.”
lanjut Lili lemas. “Sama.” Tyas menegakkan kepalanya dan menghembuskan napas.
“Kita ngapain sih di
sini?” tanya Tyas yang langsung bersandar di kursi. Lili mengangkat kepalanya,
menatap heran Tyas “Kan lo yang ngajakin gue ke sini. Masa lo yang jadi nanya
ke gue?”
“Emang ya?”
“Tuh kan malah balik
nanya lagi. Lo kenapa sih?”
“Nggak tau.” Tyas
menggeleng perlahan. “Gue juga bingung. Kenapa akhir-akhir ini gue ngerasa ada
sesuatu yang aneh dari...” Tyas pun langsung bungkam. “Dari apa? Atau dari
siapa?” tanya Lili penasaran. Kedua tangan Tyas diletakkan di atas meja “Nggak
tau deh. Gue males ngebahasnya. Karena gue belum bisa nebak sama yang gue
alamin sekarang.”
“Lo galau?” sergah
Lili. Tyas cuma menggeleng. “Lo jatuh cinta?”. Tyas diam tanpa ada gerakan
sedikit pun. “Kalo lo diem berarti lo lagi jatuh cinta.”
“Apaan sih? Siapa yang
jatuh cinta sama siapa?” tanya Tyas.
“Lo. Tapi jatuh
cintanya sama siapa gue nggak tau.” jawab Lili.
“Entahlah, Li. Gue
belum bisa mastiin perasaan gue yang sekarang gue rasain. Dibilang seneng, ya
seneng. Dibilang galau, ya sedikit. Dibilang gue lagi jatuh cinta, ya gue nggak
tahu. Karena gue belum pernah ngerasain jatuh cinta yang sebenernya.”
Lili mencondongkan
tubuhnya ke arah Tyas “Lo lagi suka sama seseorang?”. Pertanyaan itu membuat
Tyas malas menanggapinya. Dia suma bisa diam dan memandang es jeruk di
hadapannya. Lili kembali duduk “Tuh kan diem lagi.”
“Nggak tahu, Li. Gue
nggak tahu. Itu pertanyaan yang nggak akan bisa dijawab.”
“Nggak ada pertanyaan
yang nggak ada jawabannya. Pasti ada. Tapi itu bisa menguras otak, tenaga, dan
perasaan. Lo yakinin dulu sama apa yang lo rasain sekarang. Tapi jangan terlalu
dipikirin juga, takutnya lo kenapa-kenapa lagi.” Jelas Lili. Tyas mengangguk.
“Kok lo jadi bijak gini sih, Li? Pengalaman yaaa?” Tyas mulai tersenyum lebar.
“Gue baca di novel.”
“Yah...”
***
Khoiri terlentang
diatas matras. Tangan kirinya ditindih oleh kepalanya, dan tangan kanan
diletakkan di atas dadanya. Dia menatap kipas yang berputar di langit-langit
sekre Pramuka. Diam, tanpa ekspresi dan tak ada kata yang terucap. Seperti
sedang memikirkan sesuatu. Namun, ada suara pintu sekre yang sedang dibuka.
Munculah Ridwan. Khoiri menoleh ke arah sana.
“Ternyata lo di sini.
Kenapa, Ri?” tanya Ridwan yang masih berdiri di belakang pintu. Khoiri kembali
menatap langit-langit sambil menggeleng “Nggak apa-apa.”. Ridwan menghampiri
Khoiri “Mending temenin gue ke kantin. Lo pasti laper kan? Gue yang traktir
deh.”
Khoiri pun langsung
duduk “Serius? Asyiiik! Tau aja kalo gue lagi laper. Nasi Goreng spesial sama
es cendol ya.” Khoiri nyengir. “Oke!” Ridwan mengacungkan jempolnya.
Mereka berjalan menuju
kantin sambil mengobrol-ngobrol. Sampai di sana, Ridwan menoleh ke arah meja
yang ditempati Lili dan Tyas. Khoiri juga sependapat sama Ridwan. Mereka pun
menghampiri dua cewek itu. Berdiri di samping meja. “Kalian belum pulang?”
tanya Ridwan ke Lili dan Tyas yang menghentikan ngobrolnya setelah melihat
Ridwan dan Khoiri menghampiri mereka berdua. Lili menggeleng “Belum. Kita masih
pengen di sini.”
“Udah pada makan belum?
Gue pesenin nasi goreng nih.” tawar Ridwan. Dia pun duduk di sebelah Lili.
“Nggak usah, gue udah kenyang.” kata Lili. “Tyas aja tuh. Dia belum makan dari
pagi.” lanjutnya. Khoiri masih berdiri, dia menoleh ke Tyas, “Pantesan tadi lo
di kelas lemes banget. Makan gih.”
“Cie... Cie...
perhatian banget si Khoiri.” ledek Lili.
“Mumpung ditraktir
Ridwan, Li.” canda Khoiri. Tyas senyum-senyum.
“Duduklah, Ri. Jangan
berdiri terus. Gue tau lo tinggi.” kata Ridwan yang melihat Khoiri masih setia
berdiri. “Tau nih. Duduk di sebelah Tyas tuh, bangkunya masih kosong. Hatinya
juga.” kata Lili sambil melirik Tyas. “Apaan sih?” Tyas berbisik. Ridwan ikutan
juga melirik sambil cengar-cengir. Khoiri pun duduk di sebelah Tyas.
Akhirnya setelah
memesan, tiga piring nasi goreng pun datang. Diletakkan di hadapan mereka
berempat. “Loh? Satu lagi buat siapa?” tanya Tyas sambil melihat nasi goreng di
hadapannya. “Buat lo. Kata Lili kan lo belum makan.” jawab Ridwan.
“Nggak ah, gue nggak
mau makan.” Tyas menggeleng,
“Makan, Yas. Berdua
sama Lili aja deh. Gue tau lo nggak akan abis. Daripada nanti habis sama gue.
Hayo.” kata Khoiri. Tyas diam sejenak “Ya udah deh.”
“Nah, gitu dong.
Mumpung si Ridwan lagi baik sama kita. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Karena
belum tentu ada kesempatan kedua.” kata Khoiri bijak. “Dapet kata-kata itu dari
mana, Ri?” tanya Ridwan. “Internet.”
*****
Komentar