Happy Birthday
“Pementasan drama untuk kelas kalian diadakan tanggal 7 Juni
pukul 7 malam. Jadi, persiapkan dari sekarang dari masing-masing kelompok.
Jangan lupa untuk setor daftar perlengkapan untuk tata panggung dan kostumnya.”
jelas pak Worry Kinoshita, selaku dosen mata kuliah dramaturgi sambil
mengakhiri kelas hari ini.
Genre dramaturgi kali
ini adalah komedi. Untuk latar tempat, kelas kami memilih latar parkiran.
Setiap kelompok memiliki ide masing-masing untuk mengembangkan cerita sesuai
latar tempat.
Setelah pak Worry keluar
kelas, kami masih tetap di sini. Jyun, selaku ketua kelas mengambil alih.
“Teman-teman, bagaimana
persiapannya? Ada yang mau mengusulkan sesuatu?” tanyanya yang berdiri di
belakang meja dosen sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Salah satu teman kami
mengangkat tangan, “Masalah untuk background-nya,
nih, mau bagaimana? Aku sudah ada ide, sih.”
“Oke, sebentar. Tolong,
sekretaris dicatat–” Jyun kembali mengedarkan pandangan mencari posisi duduk
teman kami yang menjadi sekretaris, “oh? Sekretaris enggak masuk.” Kemudian ia
menata ke arahku, “tolong kamu yang gantikan untuk mencatat, ya. Mau tetap di
tempat atau duduk sebelahku supaya bisa lebih jelas?”
Aku menahan diri untuk
tidak terjebak dalam situasi seperti orang yang bagai mendapat durian runtuh.
Duduk di sebelahnya, loh. Yang ada bukannya makin jelas malah makin buyar
karena aku berdekatan dengan orang yang kusuka.
Tapi, mau tidak mau aku
harus ada di sebelahnya. Setidaknya aku bisa dengan mudah mencatat apa yang
teman-teman katakan untuk kesuksesan pementasan dramaturgi kelas kami.
Semoga.
Aku memeluk buku
catatan dan pulpen seraya menghampiri Jyun. Kuambil kursi kosong terdekat dan
kugeser agak menjarak dengan Jyun.
Jaga-jaga kalau dia
bisa mendengar irama detak jantungku yang tidak menentu.
*
Meski ini hanya tugas
dari mata kuliah, pementasan dramaturgi ini benar-benar dilakukan seperti
kelompok teater profesional. Benar-benar dipentaskan dan ditonton oleh umum.
Yang artinya, orang luar kampus boleh menonton dengan syarat harus membeli
tiket.
Kami juga membentuk
kepanitiaan. Setiap perwakilan kelas menjadi panitia inti untuk mengatur
jalannya acara pementasan dramaturgi ini.
Di kamar kosku, aku
sedang memikirkan sesuatu. Bukan, bukan soal pementasan, melainkan soal tanggal
pementasannya. Tanggal 7 Juni juga bertepatan dengan hari ulang tahun Jyun. Apa
yang harus aku berikan?
Sesuatu yang bisa
dibuat, sederhana, tetapi berkesan.
Masalahnya tidak hanya
itu. Apa sempat aku membuatnya?
Kalau aku memesan kue
ulang tahun, mana sempat aku mengambilnya di hari itu karena seharian akan
mengadakan gladi bersih, persiapan kostum dan tata panggung. Dan kalau memesan
kue ulang tahun, pun, tidak berkesan sekali rasanya.
Di tengah-tengah aku
memikirkan ini, aku teringat seorang perempuan yang sedang dekat dengan Jyun.
Aku tersenyum kecewa.
“Ngapain juga aku
capek-capek mikirin hadiah buat Jyun? Pasti hadiah dari perempuan itu bakal
terasa spesial, meski hanya beli.”
Aku mematikan lampu
belajarku dan pergi tidur.
Tetap saja aku masih
memikirkan hadiah untuk Jyun.
Dasar aku.
*
Lima jam lagi
pementasan dimulai. Setiap kelompok bergantian untuk melakukan gladi bersih.
Sambil menunggu giliran, ada yang melengkapi untuk perlengkapan panggung, ada
yang menyiapkan beberapa latar belakang musik, ada yang sedang latihan berdialog.
Jyun memanggilku untuk
menghampirinya, “Aku pinjam buku catatanmu dulu untuk mendata bagian penataan
cahaya lampu setiap kelompok dan bagian-bagian musiknya.”
Aku mengangguk dan
memberikan buku catatanku padanya.
“Kamu bantu kelompok
yang sana, ya, mereka masih mengedit untuk musiknya.” Jyun menunjuk ke arah
tiga orang yang sedang mengerubungi satu laptop. Aku menoleh ke arah yang
ditunjuk lalu menoleh padanya kemudian mengangguk. Aku pun menghampiri mereka.
*
Dan malam ini pementasan
dramaturgi dimulai. Sekarang giliran kelompokku yang tampil. Aku berkali-kali
menutup dan membuka tanganku untuk menghilangkan rasa gugupku. Kemudian aku
juga melatih pernapasan untuk mengatur irama detak jantungku ini. Namun gagal
seketika Jyun mengatakan empat kata padaku.
“Jangan gugup. Santai
saja.”
Hanya itu. Tapi aku
mencoba untuk tetap santai. Kupejamkan mataku, kutarik napas kemudian
diembuskan. Baiklah, aku sudah siap. Kini giliranku yang harus tampil.
Lima belas menit
berlalu, kelompokku selesai tampil. Aku mengembuskan napas lega. Dan sekarang
giliran kelompok Jyun yang akan tampil. Aku berdiri di sela-sela tirai hitam
dekat sisi panggung supaya terlihat jelas. Tidak lupa dengan kamera ponselku.
Aku merekam bagian Jyun
saja. Sedikit. Setelah itu aku menikmati sendiri adegan demi adegan. Aku
tertawa, mungkin paling terbahak, karena Jyun yang mungkin kalian lihat dia
sosok yang tenang, perawakannya berwibawa, dan satu nilai plusnya bahwa dia
sungguh tampan, menjadi berbanding terbalik.
Terang saja, genre
pementasan ini, kan, komedi. Ditambah peran Jyun memang agak menyebalkan.
Melihat Jyun yang berbanding
terbalik dengan dirinya yang biasa kujumpai di kelas, membuatku semakin
menyukainya. Bibir ini tidak lelah melengkungkan senyumanku padanya. Tapi tidak
saat aku menoleh ke arah penonton paling depan.
Perempuan itu.
Perempuan yang berhasil
mengisi sela-sela jemari Jyun.
Pencahayaan panggung
mati, tandanya pementasan kelompok tadi selesai. Meski remang-remang, aku masih
bisa melihat Jyun tersenyum lebar lalu melakukan tos pada teman-teman yang juga
berdiri di sisi panggung. Pun ia melakukan tos padaku. Aku berusaha tersenyum
meski mungkin ia tidak tahu.
*
Sudah dua jam
pementasan berlangsung, sudah selesai pula acaranya. Sebelum berberes, kami
berkumpul di panggung untuk mendengarkan ringkasan komentar dari dua dosen yang
menilai kami, salah satunya pak Worry. Pak Worry memberi beberapa masukan untuk
kelas kami.
Pementasan berjalan
lancar. Aku senang akhirnya bisa melewati ini. Lalu kedua pembawa acara tadi
naik ke panggung sambil berceloteh.
Lampu ruangan
pementasan dimatikan. Beberapa yang ada di dalam sana berpura-pura meminta
panitia untuk mencoba memeriksa saklar lampu dan sebagainya. Iya, sebagian
berpura-pura, karena ini ulang tahun Jyun.
Lampu akhirnya
dinyalakan seraya menyanyikan lagu ulangtahun.
Kubilang juga apa.
Salah satu pembawa
acara tadi membawakan kue yang lilinnya yang menancap sudah dinyalakan apinya.
Ia menghampiri Jyun yang akhirnya berdiri. Semua ikut menyanyikan lagu.
Setelahnya, Jyun memejamkan mata dan merapalkan tangannya seraya berdoa,
kemudian meniup apinya.
Semua bertepuk tangan.
Aku malah sibuk
memotret dengan kamera ponselku peristiwa tadi dari belakang Jyun. Kedua
panitia divisi sokumentasi juga melakukan hal yang sama.
“Ini kue sebenarnya
dari seseorang…” kata si pembawa acara.
Aku memasukan ponselku
ke saku celana, mendengarkan dengan saksama.
“…tapi dia tidak mau
disebut namanya. Inisialnya aja, ya? Inisialnya…”
Sudah kuduga perempuan
itu yang membeli kuenya setelah si pembawa acara menyebutkan inisial nama
seseorang yang memberikan kue itu. Inisialnya sama denganku, tapi si pembawa
acara tadi mengatakan dari fakultas lain.
Dan aku juga tidak
merasa membelikan kue itu padanya. Aku menyiapkan hadiahku sendiri dan itu
masih tersimpan rapi dalam tasku yang ada di belakang panggung.
Setelah melakukan beberapa
sesi foto, semua membubarkan diri. Ada yang ikut membereskan ruangan itu, ada
yang langsung mengganti kostum, ada yang mengobrol dulu.
Aku menghampiri Jyun
yang tangan satunya memegang kue tadi.
“Jyun.”
Ia menoleh, “Ya?”
“Kamu masih lama di sini
kan?”
Jyun mengangguk, “Iya,
kenapa?”
Aku menggeleng, “Aku
cuma mau kasih kamu hadiah ulang tahun, sih.”
Jyun mengangguk, “Ah,
begitu. Bagaimana kalau kamu taruh saja ke dalam tasku. Aku mau menghampiri
teman-teman untuk membagikan kue ini. Tasku ransel warna hitam.”
“Hm. Baiklah.”
Sebelum berbalik, Jyun
mengehntikanku. Ia mememotong kue itu keukuran yang agak kecil. Kemudian
mengambil dengan dua jarinya–ibu jari dan jari telunjuknya–yang kemudian
mengangkatnya sedikit.
“Aaa…” Jyun memberi
kode untukku membuka mulutnya. Aku mengikutinya tanpa suara. Ternyata Jyun
menyuapiku, “aku ke teman-teman dulu, ya.” Jyun berlalu.
Potongan kue tadi belum
kukunyah sama sekali. Masih dalam mulutku. Bahkan aku masih merasakan krim kue
itu disekitar mulutku. Pandanganku mengikuti langkahnya yang menghampiri
teman-teman kami.
Ini kue dari perempuan
itu. Perempuannya. Perempuan yang kubilang tadi, yang menjadi pelengkap
sela-sela jemari Jyun. Yang mejadi pendukungnya. Yang menjadi tempat keluh
kesahnya.
Aku perlahan mengunyah
kue ini seraya menahan untuk tidak menangis.
Setidaknya hal
sederhana yang dilakukan pada Jyun tadi menjadi suatu kebahagiaan buatku. Meski
denyut nadiku yang mulai terasa ini bercampur dengan kesedihan.
Tentang hadiah untuk Jyun,
aku hanya memberikan sebuah pulpen dengan buku catatan kecil yang sudah kuisi
dengan beberapa kalimat penyemangat.
Hanya itu.
Tidak berguna, bukan?
Dan kunyahanku
berhenti.
Berhenti pula aku
mengharapkanmu.
***
Jemari menari menuturkan keindahan frasa yang ditunjukan
untukmu di panggung ini. Untukmu, yang tidak akan pernah melihatku di panggung
ini, asal kau tahu kalau namamu yang selalu kujadikan ketukan tempo dalam
tarianku.
Selamat ulang tahun, cintaku yang tak terbalas.
[SELESAI]
Catatan: Untuk ia yang
sedang mengejar mimpi, kutulis kembali kisah ini untuk mengenangnya yang pernah
menjadi alasanku untuk tidak takut meski hanya sekadar berimajinasi.
#NOWPLAYING BACK NUMBER
– HAPPY BIRTHDAY
Komentar