MELATI HITAM karya Fery Hertanto
“MELATI HITAM” istilah yang aku tulis di surat kabar
sebagai julukan terhadap seorang wanita yang tewas mengenaskan di dapur
rumahnya 20 tahun lalu, saat itu usiaku sekitar 24 tahun. Baru tiga hari aku
bekerja sebagai jurnalis di salah satu kantor surat kabar lokal, tulisanku
sudah dimuat sebagai headline dan tetap menjadi topik utama
selama dua minggu berturut-turut. Wanita naas itu bernama Sartimi alias Nola
Fariska. Aku beri julukan “MELATI HITAM” karena kasus yang dialaminya hampir
sama dengan pembunuhan Ibuku saat aku berumur 8 tahun, yang ditemukan tewas
dengan badan terbagi menjadi dua bagian di atas meja makan.
Pembunuhan itu mungkin bukan orang biasa. Hampir semua
sayatan di tubuh Ibuku dilakukan sangat rapi bahkan tidak meninggalkan sidik
jari sedikitpun hanya ditemukan setangkai melati hitam disamping mayat Ibuku,
sama seperti Fariska. Sampai sekarang kasus itu belum terpecahkan siapa
pembunuhnya dan apa motif pembunuhan tersebut. Hampir semua orang percaya
bahwa pembunuhan Fariska dilakukan dengan cara-cara magis, seperti ilmu sihir,
santet dan lain-lain. Namun aku tidak percaya hal-hal metafisik seperti itu,
bagiku itu tetap pembunuhan yang kasusnya bisa diusut siapa pembunuhnya.
Aku kenal baik dengan Fariska. Kedekatan
kami sudah terjalin sejak sama-sama bekerja sebagai dokter bedah di salah satu
rumah sakit ternama di Australia, namun aku memutuskan berhenti sebagai dokter
dan pulang ke Indonesia karena alasan kurang menikmati pekerjaan. Aku
memang tidak gampang menyukai suatu pekerjaan yang hampir setiap hari berkutat
hanya di satu tempat atau ruangan kecil dan berhubungan dengan banyak orang yng
berbeda beda setiap jamnya. Berbeda dengan menjadi jurnalis. Tidak
banyak orang yang aku temui dan aku bisa seharian penuh menulis berita
tanpa ada seorangpun yang mengganggu.
Fariska juga meninggalkan pekerjaan satu tahun setelah
aku mengundurkan diri. Lalu kami dipertemukan oleh urusan pekerjaan lagi. Satu
malam sebelum Fariska terbunuh, aku diundang ke rumah barunya di daerah Jakarta
untuk membahas liputan kampanye partai milik atasannya saat itu. Fariska saat
itu sungguh berbeda dengan ketika dia bekerja sebagai dokter. Fariska sudah
menjadi sosialita yang sehari-harinya sebagai wanita penghibur dengan kedok Anggota
Partai. Tak tanggung-tanggung pelanggannya adalah para petinggi elit politik
pemerintahan bahkan anak mantan presiden. Tak heran karena wajahnya yang cantik, dan
bentuk tubuh yang nyaris sempurna dari ujung kening sampai ujung jari telunjuk
kakinya.
Dia menyambutku di depan pintu dengan pakaian tipis
desain Italia. Kulit mulus pahanya terlihat jelas dengan membuat
tubuhku sedikit berkeringat melihatnya. Dari situ juga aku semakin ingat Ibuku yang
sama-sama PSK, bedanya Ibu hanya PSK ecek-ecek saja. “Apa kabar Don Ju?”
tanya Fariska ketika pertama kali lagi melihatku saat itu, dia sering
memanggilku dengan nama itu, sebagai plesetan dari “Don Juan”.
“Tidak begitu buruk Nola” jawabku dengan
pandangan mata terfokus pada kulit pahanya yang mulus. Setelah itu dia
menyuruhku masuk ke rumahnya. Tak kusangka rumah yang dari luar terlihat
biasa saja ternyata dalamnya sangat megah. Perabot-perabotnya hampir semua barang
impor. Dilengkapi pajangan-pajangan seperti guci-guci timur
tengah yang sebagian bahannya terbuat dari intan, lukisan-lukisan yang salah
satunya karya Picaso, foto-foto dirinya bersama tokoh-tokoh penting dunia, yang
paling aku suka adalah foto dirinya bersama salah satu bangsawan bolkiah.
“Silakan duduk yang nyaman aja” ucapnya, sementara dia pergi ke dapur untuk
membuatkan minum. Maklum dia tinggal sendiri dan tidak mau menyewa
pembantu.
Ketika hendak mengantarkan minum dia sudah berganti
pakaian. Tuhan, dia terlihat semakin menggairahkan darahku ketika hanya memakai
kimono (piama polos), bahkan aku tak sempat memperhatikan anggur malaga yang
dia sajikan. Tak lama kemudian telepon rumahnya berbunyi, Tak
jelas dia mendapat telepon dari siapa, tapi wajahnya serius
sekali. Sambil
masih menggenggam telpon itu dia menengok ke arah jendela “Sebentar ya, aku ada
urusan, kamu tunggu saja di sini.” katanya padaku sambil sedikit tergesa-gesa
menuju arah pintu.
Penasaran dengan apa yang membuatnya gugup, aku
menengok ke arah jendela. Ternyata satu lamborgini sudah terparkir di depan
rumahnya. Mobil itu milik salah satu mentri tapi aku lupa
namanya karena dia jarang disorot media. Fariska datang untuk menemuinnya,
mereka kelihatan saling mesra dengan menempelkan pipi dan mencium kening
Fariska, rupanya mentri sialan itu salah satu pelanggan Fariska.
Mereka berdua masuk ke rumah dan akupun kembali duduk
seolah tidak beranjak kemana-mana. Fariska dan lelaki itu lewat persis di
belakangku dengan tertawa-tawa kecil seolah tidak menghiraukan aku yang sedari
tadi menunggu. Mereka menuju kamar pribadi di lantai dua. Aku
geram melihatnya. Mungkin aku mulai cemburu pada laki-laki tua itu. Tak
habis pikir kenapa wanita sesempurna Fariska harus menjadi pelacur.
Dua jam berlalu, anggurpun sudah tinggal sepertiga
gelas, Fariska belum juga menemuiku. Sesaat kemudian laki-laki itu turun dari
lantai dua sambil sedikit mengancingkan baju dan sabuk celana yang masih
kendor. Mentri itu bahkan tak menyadari aku berada di ruang tamu, dia lewat
begitu saja dengan mata sayup menuju ke mobilnya. Fariska belum datang
juga. Terpaksa
aku menghampirinya ke kamar. Dengan pintu kamar terbuka sekitar sepuluh
sentimeter, kulihat Fariska terkapar kelelahan di atas kasur busanya. Kimono
yang tadi dia pakai tergletak di lantai.
Hatiku semakin panas melihat kejadian
ini. Aku tak bisa terus-terusan dalam bayang-bayang Ibuku yang sering melakukan
kegiatan seks di depan anaknya yang terlalu dini untuk mengenal seks. Kejadian
seperti ini tak boleh terus terjadi. “Tidak!!!” kataku dalam hati. Aku memaksa
masuk kamar. Lampu kamar aku matikan dan menyeret Fariska yang
setengah sadar menuju dapur. Entah apa yang aku lakukan dengan pisau dapur, aku
sama sekali tidak mengerti pembunuhan. Aku hanya memotong tubuhnya dengan
caraku yang penuh kasih sayang.
Aku tidak membunuh Fariska, aku hanya membunuh
setan-setan yang ada di kepala para lelaki hidung belang termasuk setan yang
ada di kepalaku sendiri. Tidak ada yang mencurigai wartawan koran mantan dokter
bedah dan alasan kenapa wartawan itu menulis “MELATI HITAM”. Sampai akhir aku
menulis cerita ini, aku masih hidup sendiri di sebuah rumah yang tidak lain
adalah bekas rumah Fariska, aku selalu ingin menyepi dan bercengkrama dengan
Fariska yang masih hidup di setiap goresan pena.
Wanareja, 2012
Komentar