Jika Sudah Bertemu, maka Siap untuk Berpisah
“…pernah kita lalui semua,
jerit tangis, canda tawa, kini hanya untaian kata…”
Selamat pagi, Stalkers!
Dipagi yang mendung dan diiringi hembusan angin pagi, ditemani oleh secangkir
kopi putih panas yang sudah habis terlebih dahulu sebelum mengetik tulisan ini.
Antara haus dan butuh minum, akhirnya sudah habis terlebih dahulu kopinya. Baiklah,
kita lanjutkan tulisan ini.
Sebelumnya, mungkin ada
yang bertanya-tanya, “Mengapa kamu menggunakan kalimat baku dalam tulisanmu
kali ini?”. Saya menjawab, entahlah. Mungkin karena cita-cita saya ingin
menjadi penulis, jadi saya menggunakan kalimat baku.
Seperti judul yang
sudah tertulis di atas. Ya, saya ingin bercerita tentang detik-detik menjelang
perpisahan. Perpisahan yang semua orang, mungkin beberapa tidak menyukainya.
Perpisahan yang membuat kita sedih sampai meneteskan air mata. Namun, dengan
perpisahan kita bisa mengetahui betapa pentingnya orang lain ada di sekitar
kita. Orangtua, sahabat, dan saudara-saudara. Dan dengan adanya perpisahan,
kita bisa belajar untuk merelakan. Seperti yang saya alami beberapa hari yang
lalu.
Bulan April, hari
kesebelas. Tepat di hari itu kita berkumpul, walaupun tidak semuanya. Sudah
tradisi beberapa hari sebelum UN kita melaksanakan do’a bersama. Saat itu sudah
H-4. Tidak hanya siap materi, tapi siap mental. Termasuk siap untuk berpisah
dengan semua yang sedang kalian lihat; teman-teman, guru-guru, suasana kelas,
dan juga sekolah. Namun semua itu akan bertumpuk menjadi sebuah kenangan yang
tak terlupakan di dalam hati kita. Memang benar, masa-masa SMA jarang ada yang
melupakannya.
Setelah selesai
berdo’a, kita semua meminta maaf kepada teman-teman dan guru-guru. Saling
berpelukan, diiringi isak tangis, dan sedikit ke-tidak-rela-an untuk berpisah
dengan sahabat-sahabat yang sudah hampir 3 tahun menemani kita. Termasuk saya.
Disaat sahabat yang
pernah sekelas dan sebangku dengan saya, Priesta, merangkul saya dan meminta
maaf. Saya pun begitu. Namun, saya berusaha untuk tegar. Lalu, menghampiri
sahabat yang pernah sekelas dengan kita, Laras, kami saling berpelukan. Setelah
itu, Prilia, sahabat yang pernah sekelas dengan kami bertiga saat kelas X,
menghampiri dan memeluk kami. Saat saya melihat matanya yang mulai meneteskan
air mata, saya pun ingin ikut menangis, saya mencoba tegar. Namun, gagal.
Setelah itu, saya
menghampiri teman-teman yang lain. Pia, teman satu organisasi, saya memeluknya.
Dan saat dia bilang “Jangan nangis” saya jadi menangis. Tapi, itu membuat saya
mulai lega karena tersimpannya banyak masalah di hati. Saya menghampiri
teman-teman yang lain. Memeluknya dengan erat, tangisan pun mulai pecah.
Mungkin, ini pelukkan terakhir kita. Namun, tangisan mereka diiringi tawa.
Walaupun memaksa, tapi itu cara agar tidak sedih lagi.
Disaat itu saya
merenung. Sepertinya, baru kemarin kita saling kenal. Sepertinya, baru kemarin
kita naik kelas. Sepertinya baru kemarin kita pulang dari study tour. Sepertinya, baru kemarin kita pertama kali menggunakan
seragam putih abu-abu. Sepertinya, baru kemarin kita selesai MOPDB. Sepertinya,
sepertinya, sepertinya. Waktu cepat berlalu tanpa kita sadari.
Jika sudah bertemu,
maka harus siap berpisah. Namun, jika masih ada waktu, kita bisa bertemu lagi.
Secara disengajakan ataupun tidak. Kita tidak tahu.
“…perpisahan bukanlah duka, meski harus menyisakkan luka…”
Bersama Bintang – Drive
Komentar