Biarlah (Hapus Cinta)


"Kau masih mencintaiku, kan?" tanyanya padaku sambil mengusap cincin yang melingkar di jari manis kiriku.

"Tidak." jawabku yang tanpa sadar aku mengigit bibir bawahku.

"Kalau kau berbohong atau ragu, biasanya kau akan mengigit bibir bawahmu." katanya. Ah, sial! Ketahuan.

Kami tidak melanjutkan obrolan, namun jemarinya masih mengusap cincinku. Pandangannya yang tadinya fokus pada cincin, langsung menatapku.

"Boleh kulepas cincin ini?" tanyanya.

"Tidak."


"Kenapa? Bukannya kau masih mencintaiku?"


"Tidak."


"Bohong."


"Aku tidak bohong. Aku sudah tidak— ah, maksudku aku selama ini tidak mencintaimu."


"Bukan seperti itu."


"Lalu apa?!" dia mulai meninggikan nadanya.

Dia melepaskan genggamannya, raut wajahnya berubah. Baru kali ini dia menunjukkannya. Dia marah.

"Selama ini kau pura-pura mencintaiku?"

"Awalnya kupikir aku mencintaimu, tapi, selama kita dekat... aku tidak merasakan apa-apa yang disebut jatuh cinta. Aku... kurasa saat itu hanya perasaan bahagia."

Dia mengerutkan kening.

"Aku bahagia kita bisa berkenalan, kita masih bisa mengobrol meski lebih sering lewat pesan singkat. Kita masih bisa bertemu meski agak sulit menentukan waktu. Aku bahagia selama sama kamu." aku menatapnya sambil menahan air mataku yang sudah membendung.

"Jadi..."

"Apa kamu juga bahagia selama sama aku?"

"Ya."

"Apa kamu pernah sempat berpikir untuk melangkah lebih jauh bersamaku?"

Dia diam sejenak lalu menggelengkan kepalanya, "Tidak, karena aku tahu kamu akan memilihnya."
Aku tersenyum diikuti air mataku yang akhirnya menetes.

"Setelah ini—" ucapannya belum selesai.

"Kamu bisa menghubungiku kapan saja." kataku, "kita masih berteman, kan?"

"Yah.. baiklah. Asal suamimu tidak marah." dia menghapus air mataku dengan ibu jarinya, sambil mencoba menghapus yang lain; sebuah perasaan bahagia kami yang kurasa hampir tumbuh menjadi cinta.

Komentar